JAKARTA – Penyelidikan kasus penculikan terhadap pegawai bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Ilham Pradipta terus berlanjut. Polda Metro Jaya pun telah menangkap semua pelaku penculikan terhadap Ilham tersebut.
Mereka adalah RW, EWB, JRS, dan AT. Keempatnya disangkakan dengan Pasal 328 KUHP tentang Penculikan dan/atau Pasal 333 KUHP tentang Perampasan Kemerdekaan.
Keempat terduga pelaku tersebut mempunyai peran masing-masing. Hal tersebut diutarakan oleh Wilvridus Watu selaku pengacara EWB, JRS, dan AT.
Lanjut Ketua Divisi Hukum DPP FP-NTT ini menjelaskan bahwa kasus yang melibatkan kliennya terdiri dari tiga klaster. Kliennya masuk dalam klaster ke dua yaitu melakukan penculikan.
Menurut pria yang akrab disapa Willi ini, perencanaan penculikan tersebut didiskusikan sejak tanggal 19 Agustus 2025. Kliennya hanya mengikuti ajakan dari seorang pelaku berinisial RW.
“Klien kita Emanuel Woda Berto (EWB), Johanes Ronald Sebenan (JRS), dan Andre Tomatala (AT) diajak oleh EW, yang merupakan teman mereka, untuk bertemu dengan seseorang berinisial F di Kramat Jati,” kata Willi kepada wartawan.
Lanjut Willi, pertemuan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya telepon dari F kepada EW dan menawarkan suatu pekerjaan kepada EW. “Dalam pertemuan itu hadir EW, ketiga Klien kita (EWB, JRS, AT), serta seorang lagi bernama RS,” jelasnya.
Dikatakan Willi, F menjelaskan bahwa pekerjaan yang dimaksud hanyalah menjemput seseorang dan menyerahkannya dalam keadaan hidup tanpa mengalami kekurangan apapun.
“Karena alasan ekonomi, Klien kita setuju ikut serta dengan imbalan awal yang dijanjikan F sebesar Rp50 juta,” katanya.
Usai pertemuan tersebut kata Willi, EW meminta EWB untuk mencari mobil rental sebagai sarana operasional. “Malam itu juga, EW, Klien kita, dan RS kembali ke rumah masing-masing,” jelasnya.
Selanjutnya pada tanggal 20 Agustus 2025 kata Willi, para terduga pelaku kembali bertemu F di Cafe Kungkung. “Dalam pertemuan kedua itu, F memberikan briefing tambahan, yakni apabila berhasil menjemput korban agar disampaikan pesan: “ada salam dari KA (yang disebut sebagai suatu institusi tertentu),” tegasnya.
Lanjut Willi, lantaran adanya penyebutan institusi penting tersebut, EW menegosiasikan ulang harga pekerjaan dari Rp50 juta menjadi Rp100 juta. “Setelah proses tawar-menawar, akhirnya disepakati nilai pekerjaan sebesar Rp60 juta,” jelasnya.
Dijelaskan Willi, F kemudian memberikan uang Rp350 ribu kepada EW, yang selanjutnya memerintahkan RS membeli lakban, masker, dan handuk. “Tidak lama setelah itu, EW menerima arahan dari F untuk bergerak menuju Lottemart Pasar Rebo, tempat di mana mobil korban sudah terparkir,” katanya.
Ketika korban keluar dari mobilnya kata Willi, atas printah EW bersama RS dan salah satu dari kliennya memasukan secara paksa Korban ke dalam mobil rental yang dikemudikan oleh EWB.
Dalam perjalanan tersebut kata Willi, EWB berperan sebagai sopir. Lalu EW duduk di kursi depan samping sopir. Sementara JRS dan AT duduk di kursi tengah kanan dan kiri korban.
“RS duduk di kursi paling belakang. Korban ditempatkan di kursi tengah dalam keadaan tidak dilukai, hanya mulut dan mata korban dilakban oleh EW dengan bantuan RS dari belakang,” katanya.
Dari awa kata Willi, Kliennya hanya diberi pemahaman oleh EW bahwa korban tidak boleh disakiti dalam bentuk apapun. Setelah korban berhasil dibawa, EW menghubungi F dan diarahkan menuju daerah Kemayoran. “Ketiga Klien kita hanya mengikuti perinta EW tanpa mengetahui tujuan akhir dari F,” jelasnya.
“Di lokasi tersebut sudah menunggu sebuah mobil Fortuner milik F. Tidak lama berselang, datang lagi sebuah mobil Fortuner berpelat T. F kemudian mengarahkan agar mobil yang ditumpangi Klien kita bergeser ke tempat yang lebih sepi. Di tempat tersebut, korban kemudian dipindahkan ke dalam mobil Fortuner berpelat T,” katanya.
Saat proses pemindahan kata Willi, korban masih dalam keadaan hidup, sadar, bahkan sempat berteriak meminta tolong serta berusaha melepaskan lakban di mulutnya.
“Setelah pemindahan selesai, mobil Fortuner berpelat T segera meninggalkan lokasi bersama korban. Usai penyerahan korban, F memerintahkan agar pembayaran dilakukan di Lapangan Arsisi,” sambungnya.
Di tempat itu kata Willi, F memanggil EW dan menyerahkan uang pembayaran. EW lalu kembali ke mobil yang ditumpangi Kliennya dan membagikan uang masing-masing Rp. 8 juta.
“Setelah itu, ketiga Klien kita langsung pulang ke rumah masing-masing tanpa mengetahui lagi nasib korban,” katanya.
Pada 21 Agustus 2025 kata Willi, aparat kepolisian melakukan penangkapan terhadap JRS, RS dan AT di Johar Baru. Sedangkan EW ditangkap terpisah yaitu di Labuan Bajo. “EWB, yang berperan sebagai sopir menyerahkan diri secara sukarela ke Polda Metro Jaya,” jelasnya.
“Hingga saat ini, ketiga Klien kita masih ditahan di Polda Metro Jaya untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut,” bebernya.
Willi pun menegaskan bahwa para kliennya tidak mengetahui motif kasus tersebut. “Peran Klien kita hanyalah mengikuti ajakan EW yang merupakan penghubung langsung dengan F. Klien kita tidak mengetahui motif dan tujuan akhir dari perbuatan F maupun pihak-pihak lain,” jelasnya.
Lanjut Willi, kliennya hanya memahami bahwa korban tidak boleh disakiti dan faktanya korban diserahkan dalam keadaan hidup. Sejatinya Ttdak ada niat maupun kesengajaan dari Klien kita untuk melukai atau menghilangkan nyawa korban.
“Uang yang diterima Klien kita adalah Rp8 juta yang jauh lebih kecil dari nilai transaksi yang disebutkan antara EW dan F. Ini menunjukkan bahwa mereka bukan aktor utama, melainkan hanya pihak bawahan yang diajak ikut serta,” tukasnya.