JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut dugaan kasus dalam proyek kereta cepat Whoosh sejak awal tahun ini. Pengusutan itu ada di tahap penyelidikan KPK. Whoosh merupakan kereta cepat Jakarta-Bandung yang beroperasi mulai 2 Oktober 2023. Whoosh merupakan kereta cepat pertama di Indonesia sekaligus Asia Tenggara.
Rencana pembangunan kereta cepat dimulai sejak 2015 dengan pembentukan PT Kereta Api Cepat Indonesia China (KCIC). Proyek ini masuk Proyek Strategis Nasional melalui Peraturan Presiden No 3 Tahun 2016.
Namun KPK menduga ada tanah milik negara yang dijual kembali ke negara dalam proses pengadaan lahan untuk proyek tersebut. Hal tersebut dikatakan Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di kantornya, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (10/11/2025).
“Ada oknum-oknum di mana dia yang bersangkutan itu, yang seharusnya ini milik negara, tapi dijual lagi ke negara. Jadi, kami tidak sedang mempermasalahkan Whoosh itu proyeknya. Tapi kita dengan laporan yang ada ini adalah ada barang milik negara yang dijual kembali kepada negara. Dalam pengadaan tanahnya ini,” katanya.
Asep mengatakan ada dugaan tanah milik negara yang dijual dengan harga lebih tinggi yang tidak sesuai dengan harga pasar. Dia menuturkan negara seharusnya tak perlu membayar untuk memanfaatkan tanah yang memang milik negara.
Namun Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPID) Petrus Selestinus menilai, penyelidikan dugaan korupsi pada pengadaan lahan yang tidak sesuai dengan mekanisme UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum hanya menyasar pada pelaku kelas teri.
“KPK dipastikan hanya akan menyasar pelaku kelas teri, yaitu panitia pengadaan tanah seperti para Kepala Kantor BPN Kabupaten, Kota, Camat-Camat dan pejabat terkait lainnya,” ujar Petrus kepada wartawan di Jakarta, Senin (17/11/2025).
Sementara penentu kebijakan pada lapisan atas seperti Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) dan kawan-kawan dipastikan tidak mungkin menjadi fokus penyelidikan KPK. “Penyelidikan yang hanya fokus pada proses pengadaan tanah tujuannya seperti yang dikatakan dalam UU KPK yaitu bertujuan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya karena ada intervensi kekuasaan,” tegasnya.
Padahal kata Petrus, orang pertama yang harus dipanggil adalah Jokowi selaku Presiden ketika itu. Jokowi mengeluarkan kebijakan dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 107 Tahun 2015.
“Kemudian berubah lagi dengan Perpres No. 93 Tahun 2021 yang mengubah Perpres No. 107 Tahun 2015 Tentang Percepatan Proyek KCJB-WHOOSH yang merupakan alat untuk terjadinya tindak pidana korupsi dalam pembangunan proyek KCJB-Whoosh,” jelasnya.
Merujuk pada Pepres di atas kata Petrus, lapis paling atas yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana korupsi antara lain Jokowi, mantan Menteri BUMN Rini Soemarno, mantan Menteri Pratikno, Mantan Menteri Sri Mulyani, mantan Menteri Budi Karya, mantan Menteri Luhut B. Panjaitan, mantan Menteri Erick Tohir dan mantan Menteri Basuki Hadimuljono.
“KPK perlu mengawali penyelidikannya dengan menduga keras bahwa kebijakan pembangunan Proyek Percepatan Proyek KCJB-WHOOSH, bersumber dari penyalahgunaan wewenang oleh Presiden Jokowi selaku pemegang kekuasaan pemerintahan menurut pasal 4 UUD 1945,” katanya.
“Karena dengan kekuasaan pemerintahan tanpa pembatasan oleh UU inilah, merupakan cek kosong yang dapat disalahgunakan kapan saja dapat diisi, dengan menerbitkan Perpres-Perpres yang bertentangan dengan UU terkait,” tambahnya.


