JAKARTA – Polres Belu dinilai tidak profesional dalam menangani aksi demonstrasi penolakan eksekusi lahan di Halifehan, Kelurahan Tenukiik, Kecamatan Kota Atambua dan di Jalan Lilin, Kelurahan Tulamalae, Kecamatan Atambua Barat, Kabupaten Belu pada Rabu (5/12/2025).
Polres Belu dinilai melanggar standar operasional prosedur (SOP) penanganan aksi demonstrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Negara Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Hal tersebut diutarakan pengacara pelawan, Stefen Alves Tes Mau dalam Kasus perdata dengan nomor 1/Pdt. Plw/2025/PN Atb yang bergulir di Pengadilan Negeri Atambua sejak 28 Juli 2025 lalu.
Menurut pria yang akrab disapa Stefen, akibat pelanggaran SOP tersebut tak sedikit masyarakat dan anak-anak yang menjadi korban. Dia pun meminta Kapolri dan Kapolda NTT segera mencopot Kapolres Belu, AKBP I Gede Eka Putra Astawa.
“Kami meminta Bapak Kapolri dan Kapolda NTT untuk mencopot Kapolres Belu. Karena bertindak secara agresif dan tidak mampu menjaga stabilitas keamanan di wilayah perbatasan,” ujar Stefen kepada wartawan, Rabu (10/12/2025).
Stefen menegaskan, tindakan Polres Belu yang menembakkan gas air mata dengan tidak mengikuti SOP jelas merupakan tindakan melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia.
Stefen mengatakan, pasal 5 ayat 1 tentang tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian mempunyai lima tahap. Pertama, kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan. Kedua. perintah lisan. Ketiga. Kendali tangan kosong lunak.
Kemudian keempat adalah kendali tangan kosong keras dan kelima adalah kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri.
“Saat kejadian bentrokan tanggal 5 Desember 2025 di obyek sengketa bidang III, oknum aparat Polres Belu tidak menjalankan upaya pencegahan sebagaimana dalam tahap 1-4,” jelasnya.
“Mereka langsung ke tahap 5 dengan menggunakan gas air mata. Tindakan ini jelas-jelas melanggar Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009,” tukasnya.


