Oleh: Laurens Ikinia
PETA diplomasi Indonesia di kawasan Pasifik sedang digambar ulang dengan pendekatan yang lebih intens dan strategis. Dalam hitungan bulan setelah dilantik, Presiden Prabowo Subianto telah meluncurkan serangkaian kunjungan diplomatik yang terencana dan intensif ke negara-negara kawasan Pasifik. Langkah ini menandai sebuah era baru dalam politik luar negeri Indonesia yang lebih agresif dan visioner.
Gebrakan diplomasi ini tidak sekadar bersifat seremonial. Ia dipandang sebagai bagian dari grand design strategis untuk mengonsolidasikan posisi Indonesia sebagai global maritime fulcrum sekaligus negara middle power di kawasan. Langkah ini juga dinilai penting untuk menangkalkan persaingan pengaruh kekuatan-kekuatan besar di kawasan yang menjadi jantung geopolitik abad ini.
Konfigurasi kunjungan diplomatik Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ke negara-negara Pasifik memberikan sinyal kuat. Sinyal itu seakan menyampaikan pesan kepada negara-negara kawasan bahwa “a sleeping giant is coming back”.
Berdasarkan catatan kunjungan sejak 2024 hingga menjelang akhir 2025, Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran telah melakukan serangkaian kunjungan diplomatik ke Australia dan Papua Nugini. Keduanya juga melakukan pertemuan bilateral dan multilateral yang intensif dengan negara-negara dari kawasan Oseania seperti Fiji dan Selandia Baru.
Posisi geopolitik dan geostrategis negara-negara tersebut dinilai sangat menentukan jalan masuk Indonesia ke kawasan yang dijuluki “the blue continent”. Untuk itu, Indonesia perlu mendapatkan sambutan hangat dari negara-negara di kawasan ini yang berhimpun dalam payung organisasi sub-kawasan, Melanesian Spearhead Group (MSG) yang berkantor pusat di Port Vila, Vanuatu, dan organisasi kawasan Oseania, Pacific Islands Forum (PIF) yang berkantor pusat di Suva, Fiji.
MSG terdiri dari negara-negara yang tersebar di kawasan penyebaran rumpun Melanesia. Anggotanya terdiri dari tiga kategori, yakni full members, associate members, dan observer members. Papua Nugini, Solomon Islands, Vanuatu, Fiji, dan New Caledonia/Kanak adalah full members dari MSG. Indonesia masuk sebagai Associate Member, sementara Timor Leste dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) berstatus sebagai Observer members. Dengan demikian, Indonesia membutuhkan satu langkah lagi untuk berada pada posisi full member.
Sementara itu, semua anggota tetap MSG merupakan anggota tetap dari Pacific Islands Forum, yang di dalamnya ada 18 independent states and regions yang tersebar di Samudera Pasifik. Semua negara berdaulat di PIF merupakan anggota resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kawasan ini diwarnai oleh tiga rumpun besar yang memiliki banyak kemiripan: Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia.
Pertarungan di Pulau Cenderawasih
Dalam berbagai kunjungan diplomatik, Presiden menegaskan sejumlah agenda penting yang menyangkut pertahanan dan keamanan, pengembangan potensi sektor ekonomi, pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta penawaran dukungan terhadap ancaman lingkungan hidup yang dihadapi negara-negara kepulauan Pasifik. Semua agenda itu tidak terlepas dari kepentingan nasional Indonesia.
Papua Nugini, negara yang berbagi satu daratan dengan wilayah Indonesia paling timur, Tanah Papua. Jakarta melihat PNG dari dua sisi mata uang. Di satu sisi, Jakarta memandang PNG sebagai negara sahabat, namun di sisi lain, PNG juga dipandang sebagai tetangga yang dapat mendatangkan ancaman terhadap keutuhan wilayah Indonesia.
Kunjungan diplomatik Presiden Prabowo ke PNG tahun lalu dan kunjungan Wakil Presiden Gibran tahun ini mencerminkan keseriusan Jakarta untuk menjajaki kekuatan dan peluang yang ada, sambil mempertimbangkan kelemahan dan potensi ancaman di masa mendatang.
Beberapa agenda pembahasan yang dipublikasikan media massa antara lain: Pertama, Keamanan Perbatasan. Inti pembicaraan adalah penguatan pengawasan dan patroli bersama di perbatasan darat Indonesia-PNG. Presiden Prabowo mendorong kerja sama intelijen dan keamanan yang lebih erat untuk mencegah infiltrasi kelompok bersenjata dan penyelundupan.
Kedua, Pembangunan di Daerah Perbatasan. Indonesia menawarkan peningkatan pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan PNG, sebagai bagian dari pendekatan “keamanan melalui kesejahteraan” untuk menstabilkan kawasan.
Ketiga, Komitmen Politik. Meski tidak diumumkan dalam nilai moneter, hasil terbesar adalah komitmen politik tertinggi dari PNG untuk memperkuat keamanan perbatasan. Ini merupakan strategic gain yang nilainya sulit diukur dengan uang, tetapi sangat krusial bagi kedaulatan Indonesia, atau dapat disebut sebagai intangible win bagi kedua negara.
Keempat, Ikatan Kultural. Secara kultur, masyarakat di Bumi Cenderawasih mewarisi rumpun Melanesia, yang berbeda dari mayoritas penduduk Indonesia lainnya. Keeratan hubungan diplomasi ini memperkuat hubungan tradisional yang telah ada secara turun-temurun. Ikatan kultural dinilai memiliki kekuatan gravitasi tersendiri.
Hubungan Garuda dan Kanguru
Jakarta juga mengintensifkan hubungan dengan Australia. Pemerintah Indonesia memperdalam berbagai kemitraan strategis dan peningkatan di sektor ekonomi. Kerja sama yang dilakukan antara lain:
Pertama, Kerja Sama Pertahanan.
Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese menyepakati peningkatan kerja sama pertahanan, termasuk pelatihan bersama dan alih teknologi. Wacana Indonesia bergabung dalam program kapal selam AUKUS dibahas, meski masih dalam tahap awal.
Hal ini menunjukkan level kepercayaan yang baru. Namun, perlu dicatat bahwa pakta AUKUS terdiri dari dua pilar: Pilar I (pembangunan kapal selam berkekuatan nuklir) dan Pilar II (pengembangan kapabilitas canggih). Pertanyaannya, dalam pilar mana Indonesia akan dilibatkan?
Kedua, Investasi dan Perdagangan.
Beberapa MoU ditandatangani, dengan nilai komitmen investasi yang disebut mencapai puluhan triliun rupiah, mencakup sektor energi terbarukan, infrastruktur, dan kesehatan.
Ketiga, Pendidikan dan Beasiswa. Australia meluncurkan paket beasiswa untuk mahasiswa Indonesia, termasuk fokus pada pendidikan vokasi.
Hubungan diplomatik ini juga memperkuat “Lombok Treaty” yang ditandatangani pada 13 November 2006 silam, yang menekankan enam poin utama: penghormatan kedaulatan dan non-interference, kerja sama pertahanan, penanggulangan terorisme, keamanan maritim, penanganan kejahatan transnasional, serta bantuan bencana dan kemanusiaan.
Hubungan Kiwi dan Garuda
Meskipun Presiden dan Wakil Presiden belum melakukan kunjungan diplomatik ke Selandia Baru, Presiden Prabowo Subianto telah dua kali melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri New Zealand Christopher Luxon: pertama di Peru pada 15 November 2024 dan kedua di Korea Selatan pada 31 Oktober 2025.
Dalam kedua pertemuan itu, dibahas setidaknya tiga tema besar:
Pertama, Peningkatan Ekonomi Hijau dan Biru. Kedua pemimpin sepakat memperkuat kerja sama di bidang green economy dan blue economy, termasuk pengelolaan perikanan berkelanjutan dan energi terbarukan.
Kedua, Kerja Sama Pertanian dan Pangan. Selandia Baru, sebagai produsen utama produk peternakan, berkomitmen meningkatkan kerja sama di sektor pertanian dan ketahanan pangan.
Ketiga, Meningkatkan People-to-People Ties. Kedua pihak sepakat meningkatkan pertukaran pelajar dan wisatawan. Presiden Prabowo meminta PM Luxon untuk mengirim tenaga guru bahasa Inggris ke Indonesia.
Namun, hubungan ini bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, Selandia Baru membutuhkan pasar Indonesia yang berpenduduk 286 juta jiwa untuk produk pertanian dan peternakannya. Di sisi lain, isu Papua seringkali menjadi bahan perdebatan di antara anggota parlemen Selandia Baru. Hal ini memerlukan pendekatan yang arif dan bijaksana dari kedua pemerintah.
Fiji: The Hub of the Pacific
Fiji dikenal sebagai “The Hub of the Pacific” karena lokasinya yang strategis, konektivitas transportasi yang kuat, serta perannya sebagai pusat diplomasi dan institusi regional. Posisinya di tengah Pasifik Selatan menjadikannya titik transit penting.
Bandara Internasional Nadi adalah salah satu bandara tersibuk di Pasifik, dan Fiji menjadi lokasi bagi berbagai organisasi penting, seperti Sekretariat PIF dan University of South Pacific. Secara ekonomi, Fiji lebih berkembang dibandingkan banyak negara kepulauan Pasifik lainnya.
Melihat kenyataan tersebut, pembukaan KBRI di Suva adalah langkah yang strategis dan taktis, berfungsi sebagai forward operating base untuk diplomasi Indonesia di Pasifik. Hubungan antara Indonesia dan Fiji relatif baik dan kondusif, meskipun masyarakat akar rumput dan LSM di Fiji cukup vokal menyoroti masalah Papua.
Hubungan kedua negara semakin solid, yang terlihat dari kunjungan Perdana Menteri Fiji, Sitiveni Rabuka, ke Jakarta. Kunjungan itu menghasilkan beberapa kesepakatan:
Pertama, Penguatan hubungan bilateral.
Kedua, Kerja sama di bidang pertanian dan pembangunan kapasitas agrikultur, dengan Indonesia mendukung pembangunan “Regional Agricultural Training Centre” di Rakiraki, Fiji.
Ketiga, Kerja sama pertahanan dan keamanan, termasuk ajakan latihan militer bersama dan pelatihan bagi militer/polisi Fiji.
Keempat, Peningkatan kerja sama di bidang pendidikan, riset, dan sumber daya manusia, dengan Indonesia menawarkan akses pendidikan bagi pelajar Fiji.
Kelima, Solidaritas kawasan Pasifik dan kolaborasi menghadapi tantangan bersama, seperti perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut.
Peluang Yang Mungkin Dipertimbangkan
Indonesia memiliki peluang strategis untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan Pasifik melalui keanggotaan aktif dalam organisasi regional. Langkah konkret dapat diwujudkan dengan meningkatkan status keanggotaan di Melanesian Spearhead Group (MSG) dari anggota asosiasi menjadi penuh, disertai diplomasi intensif dan program nyata bagi kawasan Melanesia.
Secara paralel, Indonesia perlu mengukuhkan perannya sebagai mitra strategis di Pacific Islands Forum (PIF), khususnya dalam isu perubahan iklim, keamanan maritim, dan pembangunan berkelanjutan, yang menjadi perhatian utama negara-negara kepulauan.
Diplomasi tidak boleh hanya terbatas pada tingkat pemerintah, tetapi harus merangkul tingkat akar rumput. Pendekatan komprehensif ini melibatkan LSM, akademisi, dan masyarakat sipil di negara-negara Pasifik untuk membangun narasi positif tentang Indonesia.
Soft power menjadi instrumen kunci, melalui pemberian beasiswa, pertukaran budaya, dan program pelatihan, guna membentuk citra Indonesia sebagai mitra yang peduli dan konstruktif, sekaligus membangun jembatan pemahaman yang berkelanjutan.
Stabilitas kawasan diawali dari kesejahteraan di dalam negeri, terutama di wilayah perbatasan. Pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur dan ekonomi di Papua dan wilayah perbatasan dengan Papua Nugini (PNG) untuk mengurangi ketimpangan dan mengikis ruang gerak kelompok yang berseberangan dengan negara.
Langkah ini diperkuat dengan kerja sama intelijen dan patroli perbatasan yang lebih solid dengan PNG dan Australia, menciptakan keamanan yang inklusif dan berbasis kesejahteraan.
Sementara itu, dinamika keamanan regional menawarkan peluang kerja sama teknologi canggih. Indonesia dapat mengeksplorasi keterlibatan dalam AUKUS Pilar II yang berfokus pada teknologi pertahanan konvensional, seperti kapal selam dan keamanan siber, tanpa terlibat dalam aspek nuklir.
Eksplorasi ini harus dilakukan dengan kehati-hatian diplomatik guna memastikan kerja sama tidak memicu ketegangan dengan mitra strategis lainnya, sekaligus menempatkan Indonesia pada peta inovasi pertahanan kawasan.
Memimpin isu perubahan iklim dan menangani isu Papua dengan komunikasi proaktif akan menjadi pilar utama strategi ini. Indonesia dapat menawarkan diri sebagai mitra terdepan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bagi negara-negara Pasifik, mengintegrasikannya dengan diplomasi maritim dan ekonomi biru.
Bersamaan dengan itu, pembentukan satuan tugas diplomasi publik dan undangan bagi jurnalis serta influencer internasional untuk menyaksikan langsung pembangunan di Papua, dapat meluruskan narasi dan membangun kepercayaan.
Dengan memanfaatkan posisi Fiji sebagai hub diplomasi, Indonesia berpotensi mengonsolidasi diri sebagai poros maritim global dan mitra terpercaya yang diandalkan di kawasan Pasifik. Momentum bersejarah ini menanti langkah agresif, strategis, dan berkelanjutan dari diplomasi Indonesia.
*Penulis adalah Peneliti di Institute of Pacific Studies dan Dosen Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta


