JAKARTA – Kebebasan akademik di Indonesia masih jauh dari kata aman dan belum menjadi prioritas pemerintah, institusi pendidikan maupun aparat penegak hukum.
Hal tersebut dikatakan The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar kepada wartawan, Senin (24/11/2025).Kata Adinda, aparat diduga cenderung menggunakan pendekatan represif terhadap kritik, alih-alih membuka ruang dialog kebijakan.
“Aparat harus mulai membiasakan diri dengan policy dialogue. Jangan sedikit-sedikit tangkap. Kritik itu bagian dari demokrasi, bukan ancaman,” tegas Adinda.
Adinda juga menyoroti fenomena doxing yang menimpa warga, aktivis, hingga akademisi yang menyampaikan kritik di ruang publik.
“Ada orang yang kritis, tapi sedikit-sedikit malah didoxing. Negara perlu memastikan proses hukum yang jelas. Literasi hukum harus dibangun, bukan malah masyarakat dibodoh-bodohkan dengan menggunakan hukum untuk membungkam suara-suara kritis,” tambahnya.
Adinda menilai rangkaian kasus ini menunjukkan bahwa kebebasan akademik belum dipahami sebagai pilar penting demokrasi.
“Kampus, pemerintah, dan aparat penegak hukum dinilai perlu memperkuat mekanisme perlindungan bagi mahasiswa, dosen, dan peneliti agar ruang akademik tidak menjadi arena penuh tekanan dan intimidasi,” tukasnya.
Sementara Sekretaris Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Teuku Harza menyoroti kelemahan dalam Statuta UI yang belum memberikan perlindungan memadai bagi kebebasan akademik.
“Statuta UI menekankan tanggung jawab akademik, tapi tidak mengatur perlindungannya. Ini membuat kampus rentan ketika ada tekanan eksternal maupun internal,” ujar Harza.


