JAKARTA – Pemerintah menegaskan komitmennya dalam memberantas korupsi melalui percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Hal tersebut dikatakan Presiden Prabowo Subianto saat berpidato dalam peringatan Hari Buruh Internasional di Lapangan Monas, Jakarta, Kamis, 1 Mei 2025.
“Saudara-saudara, dalam rangka juga pemberantasan korupsi, saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Saya mendukung,” ujar Prabowo.
Prabowo menegaskan, tidak boleh ada kompromi terhadap para koruptor yang tidak mau mengembalikan uang hasil kejahatannya. “Enak aja, udah nyolong, enggak mau kembalikan aset. Gue tarik aja deh itu,” kata Prabowo.
RUU Perampasan Aset diketahui pertama kali diusulkan oleh Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2018. Hingga akhirnya, pada tahun 2012, RUU Perampasan Aset resmi diajukan ke DPR untuk dimasukkan dalam program legislasi nasional.
Namun, hingga dua era pemerintahan berakhir, yakni Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), UU Perampasan Aset juga belum berhasil disahkan.
RUU Perampasan Aset sempat masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) DPR RI tahun 2023 dan 2024. Namun hingga masa sidang DPR berakhir, RUU ini tidak juga dibahas. Di tahun 2025, RUU Perampasan Aset ini terpental dan tidak masuk dalam Prolegnas 2025.
Dukung
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo mendukung Presiden Prabowo Subianto agar RUU Perampasan Aset segera dibahas dan disahkan oleh DPR dan pemerintah.
Sebab kata Bambang, RUU Perampasan Aset merupakan instrumen hukum yang sangat penting dalam upaya memberantas korupsi dan berbagai bentuk kejahatan ekonomi.
Dengan memberikan kekuatan hukum untuk merampas aset yang diperoleh dari tindakan pidana, RUU ini diharapkan dapat menghasilkan dampak yang signifikan terhadap pengembalian kerugian negara dan memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan.
“RUU Perampasan Aset tidak hanya sekadar langkah hukum, tetapi merupakan terobosan untuk mengubah paradigma pemberantasan kejahatan ekonomi dan korupsi di Indonesia. Dengan memfasilitasi perampasan aset tanpa perlu menunggu putusan pengadilan, negara dapat lebih signifikan dalam memulihkan kerugian akibat tindak pidana,” ujar Bambang kepada wartawan, Sabtu (3/5/2025).
“RUU ini diharapkan dapat memberikan efek jera yang lebih nyata di kalangan pelaku kejahatan, membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya negara,” tambahnya.
Lanjut Bambang, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur perampasan aset secara komprehensif. Beberapa ketentuan penyitaan aset tersebar di UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), UU Korupsi, dan UU Narkotika, namun masih terdapat kelemahan. Diantaranya, proses perampasan aset sering terhambat karena harus menunggu putusan pengadilan, sulit membuktikan hubungan langsung antara aset dengan tindak pidana, serta aset-aset hasil kejahatan sering dialihkan atau disembunyikan sebelum proses hukum selesai.
“Tingkat pengembalian aset hasil kejahatan di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan total kerugian negara yang ditimbulkan. KPK dan Kejaksaan Agung terus berupaya, namun instrumen hukum yang ada seringkali belum memadai untuk mengejar aset yang disembunyikan atau dialihkan secara kompleks,” katanya.
Berdasarkan data PPATK di tahun 2023, sekitar Rp 300 triliun aset korupsi dan kejahatan keuangan lainnya belum berhasil dikembalikan ke negara. RUU Perampasan Aset diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pemulihan aset negara yang hilang akibat korupsi.
Dalam RUU Perampasan Aset akan digunakan mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa perlu menunggu vonis pengadilan. Dalam paradigma hukum yang ada saat ini, proses hukum sering kali memerlukan putusan pidana untuk merampas aset.
Namun, dengan adanya RUU Perampasan Aset, negara dapat melakukan perampasan bahkan dalam kasus di mana pelaku belum dihukum atau proses hukumnya masih berjalan. Hal tersebut merupakan langkah inovatif yang bertujuan untuk memecahkan kendala-kendala yang selama ini menghambat penegakan hukum dalam kasus-kasus korupsi, pencucian uang, dan terorisme.
“Data Transparency International menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2024 berada di angka 35 dari skala 0-100, di mana angka 0 menunjukkan tingkat korupsi yang sangat tinggi. Menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Hal ini mempertegas perlunya langkah-langkah hukum yang lebih kuat dan efektif dalam memerangi korupsi,” tegasnya.
Bambang menambahkan, keberadaan RUU Perampasan Aset dapat memperkuat posisi Indonesia di dunia internasional. Negara-negara lain sudah lebih dahulu menerapkan sistem serupa, seperti Australia, Amerika Serikat, Thailand, Inggris, Swiss, Italia, Kanada, Afrika Selatan, Singapura, Malaysia serta sejumlah negara lainnya. Dengan menerapkan RUU Perampasan Aset, Indonesia tidak hanya akan mendapatkan keuntungan dalam hal pemulihan aset, tetapi juga meningkatkan reputasinya di mata masyarakat internasional dalam hal komitmen anti korupsi.
“Nantinya, implementasi RUU Pengawasan Aset memerlukan dukungan politik yang kuat dan pengawasan ketat agar tidak disalahgunakan. Potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum menjadi tantangan yang perlu waspadai, sehingga mekanisme pengawasan dan akuntabilitas menjadi sangat krusial. Pelibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil dan lembaga non pemerintah, dalam pengawasan proses perampasan aset patut dipertimbangkan,” pungkasnya.
Fraksi NasDem juga menyatakan dukungannya terhadap percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset. Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo menyebut langkah Presiden Prabowo merupakan bentuk komitmen terhadap pemberantasan korupsi yang patut diapresiasi.
“Kami menghargai dan mendukung langkah Presiden Prabowo untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Perampasan Aset,” ujar Rudianto.
Rudianto menilai RUU ini bisa menjadi jawaban atas belum tuntasnya upaya memberantas korupsi di Indonesia.