JAKARTA – Tiga Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) dilaporkan ke Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI).
Selain ke Bawas, ketiga Hakim tersebut juga dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), Komisi III DPR RI, Kamar Pengawas MA RI, Sekretaris MA, Dirjen Badilum MA, Ketua PN Jakpus dan Wakil Ketua PN Jakpus.
Tiga hakim yang dilaporkan tersebut adalah Faisal, Marper Pandiangan dan Khusaini. Ketiganya dilaporkan atas dugaan tindak pidana berat.
Laporan tersebut dilayangkan oleh advokat Antonius Mon Safendy dan Robertus Mujiyono dari kantor Hukum Petrus Selestinus & Associates ke Bawas MA pada Rabu (19/11/2025).
Pelapor adalah pemohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan nomor perkara 281/Pdt.Sus-PKPU/2025/PN Niaga Jkt. Pst.
Menurut Antonius, pihaknya menemukan dugaan pelanggaran berat oleh ketiga majelis hakim tersebut dalam menangani perkara No. 281/Pdt.Sus-PKPU/2025/PN Niaga Jkt. Pst, Perkara No. 354/Pdt.Sus-PKPU/2025/PN Niaga Jkt.Pst dan Perkara No. 355/Pdt.Sus-PKPU/2025/PN Niaga Jkt.Pst.
Temuan dugaan pelanggaran tersebut kata Antonius berawal dari pihaknya mengajukan gugatan PKPU tanggal 16 September 2025 dengan nomor perkara 281. Pihaknya saat itu mewakili klien berinisial DSS dan SG dengan termohon Eddy Edgar Hartono dan Erly Syahada alias Jenny Jauw.
“Sidang pertama 24 September 2025. Atau delapan hari sejak terdaftarnya perkara tersebut di SIPP Pengadilan Niaga,” ujar Antonius kepada wartawan, Kamis (20/11/225).
Kemudian sidang kedua kata Antonius digelar pada 1 Oktober dengan agenda tambahan legal standing. Selanjutnya sidang ketiga tanggal 8 Oktober dengan agenda jawaban termohon I, Termohon II dan bukti surat permohonan.
Sidang keempat kata Antonius dilaksanakan pada tanggal 15 Oktober dengan agenda bukti termohon dan saksi termohon. Sidang kelima dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober dengan agenda pembuktian saksi dan ahli dari termohon I.
Sidang ke-enam jatuh pada tanggal 23 Oktober dengan agenda pembuktian ahli dari termohon II. Kemudian sidang ketujuh jatuh pada tanggal 29 Oktober dengan agenda saksi termohon I dan II.
Sementara sidang kedelapan merupakan agenda kesimpulan yang digelar secara online pada tanggal 3 November. “Tanggal 10 November pembacaan putusan. Total waktu sidang selama 56 hari,” katanya.
Sayangnya permohonan PKPU tersebut ditolak oleh majelis hakim. Akan tetapi, Antonius menegaskan, pihaknya menemukan kejanggalan dalam perkara tersebut.
Saat putusan perkaranya dibacakan secara online kata Antonius, pada saat yang sama telah terdaftar permohonan PKPU kepada Eddy Edgar Hartono dengan nomor 354 dan Erly Syahada alias Jenny Jauw dengan nomor perkara 355.
Antonius pun tidak mengetahui para pemohon dua PKPU tersebut. Namun, Antonius menduga pemohon perkara di atas adalah pihak yang terafiliasi dengan Eddy Edgar Hartono dan Erly Syahada alias Jenny Jauw.
Pasalnya kata Antonius, formulasi permohonan PKPU perkara nomor 354 dan 355 sama persis dengan formulasi pertimbangan hukum Putusan perkara No. 281.
“Patut diduga keras pihak Eddy Edgar Hartono dan Erly Syahada alias Jenny Jauw telah mengetahui Putusan Majelis Hakim Perkara No. 281 terlebih dahulu,” tegasnya.
Dugaan tersebut juga kata Antonius, diperkuat dengan fakta dipercepatnya proses pemeriksaan permohonan PKPU perkara nomor 354 dan 355.
“Faktanya dalam tiga hari sejak sidang pertama tanggal 17 November 2025, permohonan PKPU Perkara nomor 354 dan 355 sudah masuk dalam agenda kesimpulan pada tanggal 19 November 2025,” katanya.
Antonius menjelaskan, sidang pertama permohonan PKPU Perkara nomor 354 dan 355 dilakukan tujuh hari sejak pendaftaran tanggal 10 November 2025. Dalam waktu sepuluh hari sejak pendaftaran perkara sudah memasuki agenda kesimpulan.
Berdasarkan fakta tersebut kata Antonius, terdapat perlakuan diskriminatif kepada permohonan PKPU perkara nomor 281, yang jumlah agenda sidang sebanyak sembilan kali dan umur hari perkara sebanyak 56 hari.
Antonius menilai, para hakim yang menilai perkara 354 dan 355 sangat diskriminatif. Sebab para hakim mempercepat proses pemeriksaan perkara dalam waktu tiga hari sudah masuk agenda kesimpulan. Hal tersebut sangat tidak masuk akal.
“Patut diduga keras sebagai tindakan intervensi, pelanggaran independensi, konflik kepentingan dan adanya dugaan tindak pidana berat,” tegasnya.


