JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisah pelaksanaan pemilu nasional dan daerah. Putusan itu ditetapkan dalam sidang putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.
MK memutuskan pemilihan nasional baik Pileg DPR, DPD dan Pilpres digelar secara serentak. Sementara pemilihan derah baik DPRD digabung dengan pemilihan kepala daerah (pilkada). Adapun pelaksanaan pemilihan daerah ini digelar pasca 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan pilpres.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025).
MK juga menyatakan, Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
“Sepanjang ke depan tidak dimaknai, ‘Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional,” bunyi amar putusan MK.
Gugatan itu dilayangkan Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Mereka mempersoalkan Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang Terhadap Pasal 1 Ayat (2), Ayat (3); Pasal 18 Ayat (4); Pasal 22E Ayat (1); Pasal 22E Ayat (5); Pasal 27 Ayat (1); dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Jalan Baru
Sementara Koordinator Komite Pemilih Indonesia (KPI), Jeirry Sumampow menilai pemisahan tersebut menunjukan MK ingin membuka jalan baru agar proses pemilu berjalan lebih tertata dan berkualitas.
“Pemilih diberi ruang untuk fokus pada isu nasional saat memilih Presiden, DPR RI dan DPD RI. Lalu bisa benar-benar memperhatikan persoalan lokal saat memilih kepala daerah dan anggota DPRD. Hal ini tentu bisa mendorong rasionalitas pemilih dan memperkuat kualitas demokrasi,” kata Jeirry.
Dikatakan Jeirry, pemisahan ini juga memberi peluang lebih besar bagi tokoh-tokoh lokal yang mempunyai kapasitas dan rekam jejak baik.
“Mereka kini bisa bersaing secara lebih mandiri tanpa bergantung pada popularitas capres atau partai besar di tingkat nasional. Efek “ekor jas” di mana suara untuk caleg atau calon kepala daerah ikut terdongkrak oleh kandidat presiden bisa diminimalisir,” tegasnya.
Dari sisi teknis penyelenggaraan kata Jeirry, pemisahan ini juga memberi harapan. Beban kerja KPU, Bawaslu, dan petugas di lapangan bisa terbagi. Tidak lagi harus menangani lima surat suara dan lima kotak suara dalam satu waktu, yang selama ini memicu kekacauan logistik dan kelelahan luar biasa.
“Dalam jangka panjang, ini bisa menyelamatkan kualitas pelaksanaan pemilu dan bahkan keselamatan petugas,” jelasnya.
Namun pemisahan tersebut kata Jeirry menimbulkan tantangan baru. Pertama, dari segi anggaran. Dua kali pemilu besar dalam satu siklus lima tahun berarti biaya dua kali lipat. Negara harus menanggung ongkos logistik, distribusi, pengamanan, dan honor petugas dua kali. Ini berpotensi menjadi beban fiskal yang berat, apalagi jika tidak disertai efisiensi.
Kedua, masyarakat akan dihadapkan pada intensitas politik yang makin tinggi. Frekuensi ke TPS bertambah. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menimbulkan kejenuhan atau apatisme politik. Partisipasi pemilih bisa menurun karena merasa bosan atau tidak melihat perubahan nyata dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.
Ketiga, potensi munculnya politisi “lompat panggung” makin besar. Karena waktu pemilu berbeda, mereka yang gagal di pemilu nasional bisa langsung nyalon di pilkada atau sebaliknya. Politik jadi ajang coba-coba, bukan lagi soal pengabdian. Demokrasi bisa terjebak pada pola pikir jangka pendek dan kepentingan elektoral belaka.
Sementara Ketua Komisi II DPR, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menghargai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan adanya pendapat hukum dari hakim MK untuk menghadirkan pemilu nasional dan pemilu lokal.
“Dan hal tersebut tentu akan menjadi bagian penting untuk kami menyusun revisi undang-undang pemilu yang akan datang,” ujar Rifqinizamy kepada wartawan, Kamis, 26 Juni 2025.
Ketua DPP Partai Nasdem ini memastikan bahwa putusan MK tersebut akan menjadi salah satu concern bagi Komisi II DPR dalam menindaklanjuti.
Komisi II DPR juga harus melakukan exercisement bagaimana formula yang paling tepat untuk menghadirkan pemilu nasional dan pemilu lokal.
Misalnya terkait bagaimana bisa melaksanakan pemilu lokal setelah terlaksananya pemilu nasional tahun 2029. Secara asumtif pemilunya baru bisa dilaksanakan pada tahun 2031.
“Jeda waktu 2029-2031 untuk DPRD, provinsi, kabupaten, kota termasuk untuk jabatan gubernur, bupati, wali kota itu kan harus ada norma transisi,” jelasnya.
Kalau bagi gubernur, bupati dan walikota bisa tunjuk penjabat (pelaksana tugas) seperti yang dilakukan selama ini. Tetapi untuk anggota DPRD, satu-satunya cara adalah dengan cara memperpanjang masa jabatan.
“Hal-hal inilah yang nanti akan menjadi dinamika dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Pemilu yang tentu kami masih menunggu arahan dan keputusan pimpinan DPR untuk diberikan kepada Komisi II DPR,” pungkasnya.