JAKARTA – Meskipun Rancangan Kitab Undang-Undang (RUU) Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang (UU), namun penolakan terus berlanjut.
Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, secara prinsipil belum menjawab banyak aspirasi dan masukan yang telah lama disuarakan oleh sejumlah elemen masyarakat sipil.
Hal tersebut diutarakan oleh peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada wartawan, Rabu (19/11/2025).
“Masukan masyarakat sipil itu juga sudah disampaikan secara langsung ke Komisi III dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pembahasan RKUHAP ini,” tegasnya.
Dikatakan Lucius, penolakan masyarakat tentu saja karena masukan penting dan mendasar yang sudah disampaikan ke Komisi III ternyata tak cukup banyak diakomodasi. Lantas Komisi III mengaku nyaris 100% rumusan KUHAP ini dibuat berdasarkan masukan dari masyarakat.
“Aneh saja dengan pengakuan Komisi III itu, karena faktanya ada banyak catatan kritis dan mendasar yang sejak lama diusulkan oleh masyarakat sipil ternyata tak diakomodasi hingga draf RKUHAP final yang disahkan hari ini,” tegasnya.
Lucius melihat Komisi III khususnya dan DPR umumnya tak pernah punya niat atau komitmen untuk menghasilkan UU berkualitas. Lucius menduga, DPR RI terjebak oleh kepentingan tertentu.
“Karenanya membuat mereka tak mau secara bijak membaca masukan publik sebagai ikhtiar untuk kehadiran sebuah RUU yang berkualitas,” katanya.
Kalau DPR punya niat untuk membuat UU yang berkualitas kata Lucius, jelas tak perlu membela diri dan mencari-cari alasan untuk menyanggah penolakan ataupun kritikan yang disampaikan publik. Karena terjebak oleh kepentingan sepihak, publik yang ingin memberikan masukan untuk menyempurnakan UU, selalu dianggap sebagai “lawan”. Maka kritikan dan penolakan akan dianggap sebagai musuh.
“Untuk menyembunyikan kepentingan sepihak DPR dan Pemerintah itu, mereka pun menjadikan proses pembahasan sebagai panggung pertunjukan dimana ada banyak aktor yang dihadirkan dalam RDPU RKUHAP,” bebernya.
Lanjut Lucius, kehadiran banyak aktor ini dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa hampir 100% isi KUHAP datang dari masukan masyarakat. Organisasi dan tokoh yang dihadirkan selalu jadi tameng untuk membela diri, bukan untuk menyempurnakan RUU yang sedang dibahas.
“Maka politis sekali RDPU-RDPU dengan banyak lembaga dan figur di pembahasan RKUHAP. Kehadiran mereka dianggap sebagai bentuk partisipasi, sementara masukan dari mereka tak dihargai semuanya,” katanya.
Menurut Lucius, ada politisasi RDPU oleh Komisi III yang membuat mereka merasa sudah menjalankan prinsip partisipasi bermakna. Padahal partisipasi bermakna ini bukan soal banyaknya lembaga atau figur yang dihadirkan. Tetapi lebih pada bagaimana masukan lembaga dan figur itu dipakai oleh pembentuk UU untuk merumuskan hasil yang diharapkan oleh semua.
“Kalaupun ada masukan yang dianggap tidak bisa diakomodasi, ya DPR harus menjelaskan alasannya agar bisa dipahami. Jadi bukannya menanggapi penolakan publik terhadap RKUHAP dengan menyampaikan argumentasi, Komisi III justru sibuk membenarkan diri,” tegasnya.
Padahal kalau melihat lintasan proses kata Lucius, sejak Juli 2025 nyaris hanya laporan terkait bahan RDPU saja yang terpublikasi di website DPR. Bagaimana masukan itu dibicarakan dipertimbangkan dalam perumusan pasal-pasal sama sekali tak muncul.
“Lalu bagaimana publik mau memastikan apakah pembahasan dilakukan untuk mempertimbangkan masukan publik jika DPR atau Komisi III tak menyampaikan laporan pembahasan pasal demi pasal sampai Paripurna?. Ya maka jelas politisasi partisipasi ini memang tak dilakukan untuk peningkatan kualitas KUHAP, tetapi lebih untuk dijadikan tameng saja agar dianggap pembahasan KUHAP sudah partisipatif,” tukasnya.


