Febrianus Samar
Direktur Apostolado del Mar (Stella Maris) Montevideo Uruguay
Setiap tahun, Indonesia mengirimkan sekitar 800 hingga 1.000 pelaut migran untuk bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) nelayan di berbagai belahan dunia, termasuk di perairan Uruguay.
ABK tersebut bekerja di sejumlah kapal yang berbendera China, Korea, Taiwan, Spanyol, Portugal, Rusia, Inggris, Ekuador, Vanuatu, dan Uruguay. Sebagian besar berasal dari daerah pesisir seperti Brebes, Tegal, Cirebon, Ambon, Sulawesi, serta sebagian kecil dari Medan dan pulau Flores.
Sejak tahun 2013, jauh sebelum pandemi COVID-19, kehadiran para ABK Indonesia di perairan dan pelabuhan Uruguay sudah menjadi bagian dari realitas maritim global. ABK tersebut datang dengan satu harapan sederhana: mencari nafkah yang layak demi keluarga di tanah air. Namun, di balik harapan itu, tersimpan kisah-kisah panjang tentang kerentanan, ketidakpastian dan perjuangan kemanusiaan.
Banyak dari para ABK ini bekerja dalam kondisi yang jauh dari layak. Jam kerja yang panjang, kontrak yang tidak transparan, keterlambatan atau bahkan tidak dibayarkannya gaji, keterbatasan akses komunikasi, hingga tekanan fisik dan mental menjadi pengalaman yang kerap mereka hadapi.
Sebagai pelaut migran, posisi mereka sering kali lemah: terikat kontrak lintas negara, berada jauh dari perlindungan hukum yang memadai, serta minim pendampingan ketika terjadi konflik atau pelanggaran hak.
Pandemi COVID-19 semakin memperburuk situasi. Banyak ABK terjebak di kapal atau di pelabuhan tanpa kepastian repatriasi, tanpa penghasilan dan tanpa akses kesehatan yang memadai.
Namun ironisnya, meskipun dunia berhenti, industri perikanan terus berjalan, dan para ABK ini tetap bekerja demi rantai pasok pangan global.
Realitas ini menuntut perhatian serius dari berbagai pihak: pemerintah Indonesia, negara-negara bendera kapal, pemerintah Uruguay, perusahaan perikanan, serta masyarakat internasional.
Perlindungan hak asasi manusia di laut tidak boleh berhenti pada batas negara. Laut adalah ruang global dan para pekerjanya membutuhkan perlindungan global.
Dalam konteks ini, kehadiran lembaga-lembaga pastoral dan kemanusiaan seperti Apostolado del Mar (Stella Maris) menjadi sangat penting.
Melalui pendampingan, kunjungan pastoral, advokasi dan solidaritas konkret, para ABK diingatkan bahwa mereka tidak sendirian, bahwa martabat mereka tetap dijunjung tinggi, dan bahwa suara mereka layak didengar.
Para ABK nelayan Indonesia di perairan Uruguay bukan sekadar angka statistik dalam migrasi tenaga kerja. Mereka adalah manusia dengan nama, keluarga, iman, dan harapan.
Mengabaikan realitas mereka berarti menutup mata terhadap sisi gelap globalisasi maritim. Sebaliknya, mendengarkan dan bertindak demi mereka adalah langkah nyata menuju keadilan sosial dan kemanusiaan di laut.
Namun di balik kontribusi besar para ABK nelayan Indonesia terhadap industri perikanan global, banyak menghadapi persoalan serius yang melanggar martabat manusia.
Kesaksian yang dihimpun dari lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit ABK mengalami kekerasan fisik dan psikologis, termasuk perlakuan kasar, intimidasi, serta ancaman dari atasan atau pihak kapal.
Selain itu, diskriminasi dan perlakuan yang merendahkan martabat masih menjadi realitas sehari-hari. Para ABK sering diperlakukan bukan sebagai pekerja profesional, melainkan sekadar tenaga murah yang mudah digantikan.
Kondisi ini diperparah dengan praktik kerja paksa, di mana ABK dipaksa bekerja dalam jam kerja yang sangat panjang, tanpa waktu istirahat yang memadai, dan tanpa perlindungan keselamatan yang layak.
Masalah lain yang paling sering muncul adalah keterlambatan pembayaran gaji, bahkan dalam banyak kasus gaji tidak dibayarkan sama sekali. Hak dasar sebagai pekerja diabaikan, sementara para ABK tidak memiliki kekuatan tawar untuk menuntut keadilan. Di tengah laut, jauh dari daratan dan sistem hukum, mereka berada dalam situasi yang sangat rentan.
Kondisi hidup di atas kapal pun kerap tidak manusiawi. Makanan yang tidak mencukupi, kualitas air minum yang buruk, serta minimnya perhatian terhadap kesehatan menjadi masalah serius.
Dalam banyak kasus, ABK yang sakit tidak mendapatkan perawatan medis yang layak dan bahkan tidak tersedia obat-obatan dasar sehingga penyakit ringan dapat berubah menjadi kondisi yang membahayakan jiwa.
Lebih menyedihkan lagi, para ABK sering mengalami isolasi berkepanjangan. Mereka tidak memiliki akses komunikasi yang memadai, tidak bisa menghubungi keluarga, dan tidak memiliki akses internet.
Isolasi ini tidak hanya berdampak secara sosial, tetapi juga secara psikologis, menambah beban mental yang berat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di laut.
Akumulasi dari kekerasan, eksploitasi, dan pengabaian tersebut telah menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan fisik dan mental para ABK nelayan Indonesia.
Kelelahan ekstrem, cedera kerja yang tidak ditangani, penyakit kronis, stres berkepanjangan, depresi, dan trauma psikologis menjadi kenyataan yang dialami banyak dari mereka.
Dalam situasi yang paling tragis, konsekuensi dari kondisi kerja yang tidak manusiawi ini bahkan berujung pada kematian. Nyawa manusia seakan menjadi harga yang terlalu murah dalam rantai produksi perikanan global.
Realitas ini menunjukkan bahwa persoalan yang dihadapi para ABK nelayan Indonesia di perairan Uruguay bukanlah kasus-kasus terpisah, melainkan pola pelanggaran sistemik yang membutuhkan perhatian dan tindakan nyata. Laut tidak boleh menjadi ruang tanpa hukum, dan kapal tidak boleh menjadi tempat di mana hak asasi manusia ditanggalkan.
Dengan demikian, aparat atau otoritas yang berwenang, agar menyelidiki kasus-kasus ini dengan keseriusan, independensi, dan transparansi, serta menjamin akses terhadap keadilan dan perlindungan yang efektif bagi para korban.
Kemudian perusahaan-perusahaan di sektor perikanan dan seluruh rantai pasoknya, agar mengambil tanggung jawab penuh dalam mencegah terjadinya pelanggaran ketenagakerjaan dan pelanggaran hak asasi manusia di laut.
Selain itu, lembaga pengawas dan lembaga sertifikasi, agar memperkuat secara nyata mekanisme pengawasan, pemantauan, dan audit terhadap kapal-kapal perikanan.
Selanjutnya masyarakat sipil dan para konsumen, agar menuntut praktik-praktik yang etis, bertanggung jawab, dan transparan dalam seluruh proses produksi perikanan.
Akan tetapi penghapusan kerja paksa dan eksploitasi di laut menuntut adanya kemauan politik, kerja sama internasional, serta komitmen nyata dan dapat diverifikasi dari sektor swasta. Laut tidak boleh terus menjadi ruang tanpa hukum, tempat di mana martabat manusia diabaikan.


