LABUAN BAJO – Malam itu malam Minggu di bulan Juni. Sebagai kurir online, aku menerima sebuah pesanan dari arah selatan kota tempatku tinggal, yaitu Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Usai pesanan masuk melalui pesan WhatsApp, kakiku segera beranjak menuju motor, teman setiaku dalam mencari penghasilan di kota yang dibaptis sebagai destinasi pariwisata super premium itu.
Aku menyusuri jalan menuju lokasi penjemputan pesanan. Tak lama kemudian, aku tiba di tempat tersebut. Setelah pesanan diproses, aku pun langsung menuju ke lokasi tujuan pengantaran.
Motorku melaju menyusuri jalan yang remang-remang. Tempat itu berada di selatan kota. Kini, konon katanya, kawasan itu tumbuh subur dengan berbagai tempat hiburan malam.
Namun pikiranku tidak melayang ke sana. Aku menikmati perjalananku dengan semangat, berharap bisa mendapat ongkos yang lumayan – cukup untuk makan dua kali atau membeli sebungkus rokok.
Motorku terus melaju sambil ku pandangi petunjuk dari Google Maps. Mendekati lokasi, arah petunjuk mulai berubah, mengarahkanku untuk berbelok ke lorong sempit dengan jalan yang tidak rata, penuh bebatuan.
Sekitar 100 meter aku melewati jalan rusak itu, lalu tampak sebuah gedung mewah dengan lampu kelap-kelip. Musik jazz terdengar dari dalamnya. Google Maps menunjukkan lokasi tujuan berada di sana.
Aku melihat pemandangan yang cukup mengejutkan. Dari jalan yang gelap dan rusak itu, aku tiba-tiba menyaksikan pemandangan yang kontras: wanita-wanita berpenampilan mencolok, tubuh mereka tampak mulus dan terawat.
Mereka berada dalam ruang kaca yang terang, berpakaian terbuka. Pakaian mereka menampakkan bagian paha dan dada. Penampilan itu menarik, dan secara jujur, rasanya enak banget dan sungguh menggoda imanku.
Aku memarkir motorku tepat di depan ruangan tersebut. Ada beberapa ruang lain juga, dipenuhi wanita-wanita cantik dan anggun, yang seolah menanti tamu datang untuk mengambil sesuatu, entah pesanan atau layanan lain.
Aku tak merasa canggung memarkir motor di sana, karena memang sedang mengantar pesanan. Namun, dalam hati kecilku, aku sadar aku sengaja ingin melirik mereka diam-diam.
Aku mencuri pandang ke tubuh dan wajah mereka. Tampaknya mereka bukan orang lokal. Aku menduga mereka berasal dari pulau-pulau seberang yang jauh dari sini.
Tak lama kemudian, pelangganku keluar dari ruangan lain – kemungkinan kamar pribadi. Penampilannya juga tak kalah mencolok. Ia mengenakan gaun hitam super mini, dengan dada sedikit terbuka, membuat mataku menatap lekat-lekat.
Tubuhnya ramping, tidak gemuk tapi juga tidak kurus. Aroma parfumnya harum menusuk hidung hingga ke hati. Wanita seperti ini, terus terang, masuk dalam bayangan idealku.
Setelah menerima pesanan, pelanggan itu beranjak ke ruang kaca itu dan bergabung dengan yang lainnya. Saat melirik mereka kembali, hasratku mulai bangkit. Aku merasakan sesuatu yang berbeda.
Pikiran mulai bertanya-tanya, tempat apa ini sebenarnya? Tak lama kemudian, aku menemukan jawabannya: mungkin ini yang disebut PUB, tempat hiburan malam, tempat orang bersenang-senang, bahkan mungkin dengan jasa perempuan berbayar.
Aku pun mulai penasaran seperti apa rasanya. Batinku mulai terusik oleh keinginan untuk tahu. Aku jadi bimbang: apakah aku harus mengikuti rasa penasaran itu, atau menolaknya?
Karena aku tahu, rasa penasaran yang tak terkendali bisa menjerumuskan. Seperti kisah Hawa yang karena rasa ingin tahunya menggoda Adam dan membuat mereka terusir dari Taman Eden.
Jika aku mengikuti rasa penasaran ini, maka mungkin aku akan jatuh seperti Adam dan Hawa.
Aku tak mau berdosa.