JAKARTA – Penyelesaian masalah Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua tersandera oleh tarik menarik kepentingan politik. Hal tersebut membuat konflik struktural, kekerasan negara, ketimpangan pembangunan, stereotipe, serta diskriminasi selalu dialami Orang Asli Papua (OAP) selama puluhan tahun.
Pernyataan itu diutarakan oleh Direktur Satu Honai Indonesia yang juga representasi orang asli Papua (OAP) Hironimus Hilapok dalam diskusi yang bertajuk “Mengurai Benang Kusut Problem HAM di Papua: Mempertanyakan Posisi Orang Asli Papua di dalam Republik Indonesia”.
Diskusi tersebut merupakan bentuk kerjasama Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) dengan Satu Honai Indonesia untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia di Margasiswa PMKRI, Jakarta Pusat, Rabu (10/12/2025).
“Penyelesaian masalah HAM di Papua tersandera oleh tarik-menarik kepentingan politik, lemahnya akuntabilitas negara, dan ketiadaan dialog jujur antara pemerintah dan masyarakat Papua,” tegasnya Hilapok.
Menurutnya, momentum peringatan Hari HAM Sedunia ini mesti menjadi kesempatan bagi semua pihak, stakeholders terkait, untuk membicarakan ulang wacana penyelesaian HAM di Papua sembari menempatkan posisi OAP di tempat yang layak.
“Ini penting karena selama ini OAP hanya dianggap sebagai penerima manfaat dari dana CSR perusahaan-perusahaan yang ada di sana, padahal OAP adalah pemilik utama dari tanah ulayat yang di atasnya terkandung segala mineral yang menjadi rebutan perusahaan tersebut. Orang Asli Papua harus menjadi aktor utama dalam setiap pengambilan keputusan penting yang menyangkut hak hidup dan masa depannya sendiri,” tegasnya.
Menurutnya, Papua itu paradoks karena menjadi salah satu daerah paling miskin di Indonesia sementara hasil alamnya begitu kaya. “Salah satu penyebabnya adalah regulasi yang tumpang tindih dari pusat dan model pembangunan yang tidak partisipatif melihatkan OAP sebagai pengambil keputusan yang penting,” ujarnya.
Sementara itu tokoh agama, Romo Magnis- Suseno SJ menyebut problem Papua adalah soal kemanusiaan yang sudah terjadi terlalu lama sejak integrasi. Kekerasan, menurutnya, adalah akar dari banyaknya persoalan di Papua selama lebih dari 60 tahun.
“Papua adalah luka terbuka di dalam negara ini. Impunitas yang terjadi di Indonesia dan secara khusus di Papua harus diakhiri,” ungkap Romo Magnis.
Romo Magnis mengusulkan agar ada perundingan antara Papua dan Jakarta untuk membicarakan ulang persoalan yang terjadi. “Ini bisa dilakukan di luar negeri dengan kondisi yang bebas untuk membicarakan soal ini. Pemerintah mesti mengurangi militer yang ada di Papua,” katanya.
Misionaris dari Serikat Jesus ini juga mengimbau agar Gereja mendukung perjuangan rakyat Papua untuk kesetaraan dan hak-hak yang sama dengan orang Indonesia lainnya.
“Saya berharap Gereja Katolik dan juga Gereja-Gereja lokal di Papua, untuk mendukung perjuangan rakyat Papua dalam menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia,” tukasnya.


