JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agar bisa berlaku pada 1 Januari 2026 mendatang. Sejumlah pihak diundang untuk memberi masukan atas hukum acara pidana peninggalan Belanda itu.
Tak ketinggalan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga turut memberi masukan atas Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mengusulkan standar minimal latar belakang pendidikan penyidik dan penyelidik diatur dalam revisi tersebut.
Seharusnya kata Tanak, penyidik dan penyelidik mempunyai latar belakang lulusan sarjana hukum. Hal itu sejalan dengan latar belakang pendidikan advokat, jaksa, dan hakim yang diharuskan lulusan ilmu hukum.
“Penyelidik dan penyidik harus berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S1) ilmu hukum sehingga seluruh aparat penegak hukum, berlatar belakang pendidikan S1 ilmu hukum,” kata Tanak kepada wartawan, Sabtu (31/5/2025).
“Saat ini penyelidik dan penyidik tidak disarankan berpendidikan S1 ilmu hukum, sedangkan advokat jaksa dan hakim sudah disyaratkan harus S1 ilmu hukum,” ujarnya.
Masukan Tanak tersebut mendapat dukungan penuh dari praktisi hukum Serfasius Serbaya Manek. Kata pria yang akrab disapa Serfas itu, asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dimulai pada proses penyelidikan dan penyidikan.
“Sangat sepakat karena asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dimulai di proses penyelidikan dan penyidikan,” ujar Serfas kepada Journalpost.id, Sabtu (31/5/2025).
Pria yang tengah menempuh pendidikan doktoral hukum di Universitas Pelita Harapan (UPH) ini menegaskan bahwa, penyidik yang tidak memiliki latar belakang sarjana hukum akan kesulitan dalam memahami asas hukum.
“Jika penyidik tidak memiliki latar belakang pendidikan S1 (hukum) maka lemah dalam memahami asas-asas hukum,” jelasnya.
Sementara Advokat Stefen Alves Tes Mau juga sepakat dengan usulan Tanak tersebut. Bagi Stefen, dua hal krusial menjadi pekerjaan rumah para penyidik yang bukan berlatarbelakang hukum.
Pertama kata Stefen, tuntutan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). “Tuntutan Perkembangan IPTEK,” tegas Stefen.
Lanjut Stefen, pengalamannya sebagai penasehat hukum menemukan para penyidik yang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak mampu menganalisis kasus.
“Pengalaman di lapangan, yang (lulusan) SMA tidak mampu memahami dan menganalisis persoalan,” tegasnya.
Mendesak
Wakil Menteri Hukum, Prof Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan bahwa penyelesaian RUU KUHAP menjadi agenda mendesak yang tak bisa ditunda lagi. Karenanya pemerintah menargetkan RUU KUHAP mesti rampung maksimal 2025.
“Mau tidak mau, suka tidak suka, bahkan senang atau tidak senang RUU KUHAP harus disahkan pada tahun 2025 ini. RUU KUHAP memiliki implikasi signifikan terhadap KUHP,” ujar Prof Eddy dalam Webinar Sosialisasi RUU KUHAP sebagaimana dikutip dari laman resmi Kemenkum, Sabtu (31/5/2025).
Sebagai contoh konkret, sejumlah pasal dalam KUHAP yang mengatur soal penahanan tidak akan berlaku lagi mulai 2 Januari 2026. Artinya, aparat penegak hukum kehilangan legitimasi untuk melakukan penahanan. Oleh karena itu, dibutuhkan KUHAP baru yang sesuai dengan KUHP dan lebih relevan dengan kebutuhan bangsa Indonesia.
Salah satu masalah krusial dalam RUU KUHAP saat ini adalah masih dicantumkannya ketentuan tentang syarat objektif penahanan terhadap tindak pidana dengan ancaman di bawah lima tahun yang merujuk pada pasal-pasal dalam KUHP lama. Padahal, pasal-pasal tersebut akan resmi dicabut dan tidak lagi berlaku mulai 2 Januari 2026.
“Kalau ada tersangka atau terdakwa yang ditahan dengan apa yang tercantum dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP, maka secara mutatis mutandis aparat penegak hukum akan kehilangan legitimasi untuk melakukan penahanan,” ujarnya.
Lebih lanjut pria biasa disapa Prof Eddy itu mengatakan RUU KUHAP yang baru menunjukkan perbaikan. Yakni adanya pergeseran dari KUHAP lama yang cenderung pada crime control model menjadi due process model.
Ia menerangkan hal penting dalam due process model. Yakni adanya hal yang menjamin perlindungan hak asasi manusia dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum.
Dalam sistem peradilan pidana, tidak semua orang yang ditangkap, ditahan, digeledah, atau dikenai penyitaan otomatis bersalah. Inilah sebabnya hukum acara pidana tidak semata-mata dirancang untuk memproses tersangka, melainkan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu.
Filosofi dasarnya berakar pada penghormatan terhadap hak asasi manusia, yaitu memastikan agar setiap tindakan aparat penegak hukum tidak melampaui batas dan tidak menjurus pada kesewenang-wenangan.
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) itu berpendapat, RUU KUHAP sudah berorientasi pada KUHP yang disusun dengan merujuk pada paradigma hukum pidana modern. Yakni pada keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif.
“Maka dari itu keadilan restoratif juga dimungkinkan di dalam RUU KUHAP untuk semua tingkatan yaitu Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan, bahkan sampai ketika orang tersebut merupakan penghuni lembaga pemasyarakatan,” imbuhnya.
Melihat dampak KUHAP yang besar, maka Kemenkum melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendapatkan masukan dalam penyusunannya. Kemenkum telah membangun diskusi bersama para tenaga ahli di bidang hukum, kementerian dan lembaga terkait, para advokat, koalisi masyarakat sipil, hingga civitas akademika sebagai bentuk partisipasi publik.