JAKARTA – Perumda Pasar Jaya (PPJ) dinilai menzolimi para pedagang di Pasar Pramuka, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Pernyataan tersebut sebagai bentuk aksi protes dari para pedagang yang tidak menerima kebijakan dari PPI yang melakukan penyegelan pada Kamis (13/11/2025).
“Apa yang terjadi di Pasar Pramuka ini adalah bentuk kezaliman dari Perumda Pasar Jaya terhadap para pedagang,” ujar anggota tim 15 Himpunan Pedagang Farmasi Perumda Pasar Jaya (HPFPP) Sofan Hakim di lokasi.
Menurut Sofan, harga yang ditawarkan Perumda Pasar Jaya kepada para pedagang sangat mencekik. “Harga Rp425 juta di awal. Sekarang Rp400 juta untuk 20 tahun yang harus dibayarkan paling lama 18 bulan. Kalau dibagi 18 bulan berarti Rp18-20 juta per bulan,” tegasnya.
Angka sewa tersebut kata Sofan tidak masuk dalam hitungan skema bisnis para pedagang. “Karena berat sekali harus menanggung biaya segitu tiap bulannya,” bebernya.
Menurut Sofan, kebijakan penyegelan yang dilakukan Perumda Pasar Jaya tanpa dasar hukum yang jelas. Sejatinya kata Sofan harus ada surat kuasa (SK) direksi. “Sampai sekarang belum ada SK direksi yang menetapkan dan sebagai dasar untuk penyegelan itu,” jelasnya.
Lanjut Sofan, penyegelan tersebut jelas melanggar instruksi dari Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung. Padahal kata Sofan, pihaknya sudah melakukan audiensi dengan Gubernur Pramono pada tanggal 14 Oktober 2025.
“Gubernur DKI bilang tidak boleh ada penyegelan terhadap kios-kios di Pramuka sampai ada kesepakatan harga antara Perumda dan pedagang. Ini yang menjadi pokok persoalan di Pasar Pramuka hingga hari ini,” katanya.
“Ada maladministrasi yang ditemukan ombudsman yang tidak dijalankan sehingga sampai mereka tetap menyegel dan terus merampas hak kami untuk berdagang,” tambahnya.
Sofan mengaku, biaya Perpanjangan Hak Pakai (PHP) tidak ada kenaikan harga sejak 2004 sampai 2024 sebesar Rp100juta per 20 tahun. Namun sekarang naik menjadi Rp400 juta.
“Kita minta Rp250 juta. Sekarang ditetapkan Rp400 juta. Empat kali lipat dari PHP sebelumnya. Jadi, kita tidak terima karena tidak ada aturan yang jelas. Harga tidak bisa dijangkau oleh masyarakat, SK direksi dan instruksi Gubernur tidak dijalankan,” tukasnya.


