LABUAN BAJO – Lengkong Warang yang berada di Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Boleng, Manggarai Barat disebut tanah ulayat Gendang Mbehal. Klaim kepemilikan tersebut didasarkan pada sejarah para leluhur dan keberadaan perkampungan lama Rungkam di sekitar lokasi.
Hal tersebut disampaikan Tu’a Golo atau Pemangku Ulayat Gendang Mbehal di Labuan Bajo, Minggu (21/9/2025) malam.
“Lengkong Warang Itu milik leluhur kami, dan itu adalah perkebunan dari leluhur kami yang tinggal di kampung lama, kampung Rungkam, yang sekarang pindah ke Mbehal” ujarnya dalam bahasa daerah.
Menurut Aleks, di kawasan bekas perkampungan Rungkam masih terdapat berbagai tanda peninggalan leluhur, antara lain makam, sumur, tempat penggilingan jagung, dan pohon nangka yang ditanam pada masa para leluhur tinggal di sana.
Ia menegaskan bahwa Lengkong Warang adalah ‘uma du’at’ atau perkebunan leluhur yang berada di sekitar perkampungan lama tersebut.
Aleks menambahkan, pada tahun 1975 warga Rungkam pindah ke Mbehal. Namun, “Setiap kali ada acara penti nama Lengkong Warang selalu disebut. Itu pesan leluhur kami,” jelasnya.
Saat ini, masyarakat ulayat Mbehal telah kembali memanfaatkan lahan itu dengan membuka kebun baru dan menanam pisang.
Namun, pada 18 Juni 2015, lahan tersebut diperebutkan oleh warga Kampung Rareng. Hal itu disampaikan Gabriel Jahang (Gebi), salah satu warga Mbehal yang menjadi saksi mata. Menurutnya, ketika ia dan belasan rekannya sedang bekerja, rombongan warga Rareng datang dalam jumlah besar.
“Kami merasa kaget melihat orang yang datang kurang lebih 200 orang dengan bus kayu dan dump truck, membawa parang. Dan satu orang, yaitu Merci Mance, membawa tombak,” kata Gebi.
Media ini telah berupaya meminta tanggapan Tua Teno, Belasius Panda, melalui pesan WhatsApp dan telepon terkait status, sejarah, serta alasan klaim tanah tersebut. Namun hingga kini Belasius belum merespons.
Sementara itu, tokoh pemuda Kampung Rareng, Merci Mance, membenarkan peristiwa tersebut dan malah berdalih bahwa pihak Rareng justru menjadi korban.
“Justru kami adalah korban, kerena kami pergi untuk membagi tanah kami, tetapi dihadang oleh mereka (orang Mbehal,” ujarnya.
Ia juga membantah tuduhan bahwa dirinya membawa tombak. “Saya pastikan bahwa tidak benar itu tudingan, yang saya pegang itu adalah kayu, kayu pusaka yang diwasiat oleh leluhur,” tegasnya.
Ketika diminta menjelaskan sejarah dan alasan pembagian lahan Lengkong Warang, Merci hanya menyampaikan: “Intinya begini belum waktunya saya membicarakan soal itu, waktunya terlalu jauh, intinya saya tidak mau bicara sejarah dulu karena tidak ada guna, tetapi yang pasti kami akan menyampaikan di waktu yang tepat, kami akan menyampaikan sejarah itu, dan yang kami sampaikan adalah fakta, fakta sejarah itu ” tuturnya.
Gandeng LSM
Masyarakat adat Mbehal kini didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Ilmu. Ketua LSM Ilmu, Doni Pareira mengatakan, pihaknya mendampingi masyarakat adat Mbehal untuk mengayomi masyarakat yang tertindas.
“Kamu selalu hadir dimana ada orang yang terbuang, miskin, kelaparan dan kami memiliki sumber daya itu untuk membantu,” ujarnya dalam sebuah konferensi pers di Cafe G20 Lama, Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Minggu (21/9/2025) malam.
Doni menuturkan, LSM Ilmu sejauh ini tidak hanya mendampingi masyarakat Adat Mbehal dalam memperjuangkan hak ulayat, tetapi juga telah banyak membantu masyarakat di berbagai wilayah, mulai dari Flores hingga Aceh di Pulau Sumatera.
Ia melanjutkan, komitmen mendampingi masyarakat adat Mbehal dilandasi kajian dan pemahaman sejarah yang telah mereka lakukan.
“Kenapa Mbehal kami dampingi, karena Mbehallah yang terzalimi oleh jenderal-jenderal, politisi di Jakarta, orang kaya yang merampas lahan ulayat mereka dengan segala macam rekayasa, dan kami hadir disana bersama mereka (masyarakat Mbehal),” tegasnya.
Doni menambahkan, LSM Ilmu sudah mendampingi masyarakat Adat Mbehal sejak 2017. Sejak saat itu, lembaga tersebut kerap terlibat dalam penanganan kasus perampasan lahan oleh pemilik modal, meski ia tidak merinci setiap kasus.
“Sering kali aparat negara dipakai orang berduit untuk mengintimidasi, bahkan sampai turun Barakudanya Brimob, turun berpakaian lengkap, bersenjata hadapi kami masyarakat adat, dan kami tampil didepan untuk itu,” pungkasnya.